• sal Usul Dusun Donglo Masaran

       

    Jenis Tradisi Lisan
    Nama Budaya sal Usul Dusun Donglo Masaran
    Tahun Pelaporan 2020
    Lokasi Lokasi
    status Lestari
    Pihak Pelestari Masyarakat
    Pencipta/Tahun Pembuatan Anonim
    Sudah/Belum ada dokumen tertulis Ada
    Penulis
    Bahan
    Dimensi
  • Referensi Isi

    Asal Usul Dusun Donglo Masaran
    Masaran tidak hanya dikenal sebagai gudangnya beras. Ribuan hektar sawah memang selalu terlihat menghijau tanpa kenal musim. Sepanjang tahun, Masaran benar-benar menjadi penopang kebutuhan pangan Kabupaten Sragen, bahkan Provinsi Jawa Tengah dan nasional. Tidak hanya itu, Masaran juga dikenal sebagai kawasan industri. Di sepanjang jalan arteri, puluhan pabrik besar berdiri. Menyerap ribuan tenaga kerja lokal dan sekitarnya. Karena itulah, Masaran sangat terkenal ke seluruh penjuru nusantara.
    Namun, Masaran tidak hanya dikenal sebagai lumbung padi dan pusat industri. Masaran juga menyimpan banyak cerita rakyat. Hampir setiap kampong memiliki cerita yang diwariskan secara turun-temurun. Belum termasuk dongeng yang juga turut dilestarikan. Belum termasuk juga adat dan kesenian tradisional. Karena itulah, sering ada ungkapan Masaran adalah gudangnya pengetahuan, baik umum maupun agama. Terkait dengan cerita rakyat ini, ada kisah menarik tentang asal-usul Dusun Donglo.
    Dusun Donglo terletak di RT 16. Memiliki warga sekitar 38 KK Merupakan bagian dari wilayah desa Dawungan Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen. Sekitar 6 km dari pusat kota kecamatan. Akses jalan mudah terjangkau karena kondisi jalan sudah baik. Mayoritas masyarakat berprofesi sebagai petani. Ada juga yang merantau keluar daerah. Ada juga yang bekerja di kawasan industri sekitar Masaran.
    Dusun Donglo merupakan daerah yang sangat makmur. Selain tanahnya sangat subur, pengairan sawah pun sudah tertata rapi. Irigasi ini bisa berasal dari air Sungai Bengawan Solo dan ada juga yang memanfaatkan sumur dalam. Padi menjadi komoditas utama. Setahun bisa tiga kali panen. Jarang sekali diselingi tanaman palawija. Karena itulah, rerata rumah penduduk sudah tembok dengan lantai keramik. Hampir semua rumah sudah memiliki kendaraan bermotor, listrik, serta sarana media komunikasi dan hiburan
    Dinamai Donglo berawal dari perjalanan seorang waliyullah saat itu. Wali itu sedang mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Siang itu, sang wali berjalan sendiri di tengah teriknya sinar matahari. Seakan matahari tiada ampun ingin membakar kulit semua yang ada di muka bumi. Terlebih saat matahari tepat di atas kepala. Otak terasa mendidih akibat panasnya udara dan tiadanya angin yang bertiup. Benar-benar kering dan panas.
    Sang wali pun tengadah ke atas. Dilihatnya matahari yang seakan menantang dirinya. Itu menjadi penanda jika sudah menjelang masuk waktu sholat dhuhur, sang wali segera mencari tempat air untuk mengambil air wudlu. Dilihatnya sebatang pohon yang sangat besar dan rimbun. Pohon itu memiliki diameter sekitar 200 cm atau 2 meter. Berdiri tegak menjulang ke angkasa tepat di pinggir kali atau sungai yang cukup dalam airnya.
    Begitu sang wali akan mengambil air wudlu ke sungai, tiba-tiba airnya sangat keru. Tidak layak digunakan untuk bersuci. Sang wali pun mengurungkan niatnya untuk wudlu dengan air sungai. Lalu, sang wali naik lagi ke dekat pohon yang besar itu. Begitu sudah dekat, ditancapkannya tongkat yang dibawanya. Tiba-tiba, muncratlah air yang sangat jernih dari dalam tanah. Air itu menyembur ke atas. Sang wali pun segera wudlu dengan air itu, lalu menunaikan sholat dhuhur di situ. Karena tempat itu belum memiliki nama, sang wali menamai tempat itu dengan nama Donglo dari dua kata bahasa Jawa, yaitu dong yang berarti daun dan lo yang berarti pohon. Sang wali pun pergi meninggalkan setelah menunaikan sholat dhuhur. Melanjutkan perjalanan guna menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
    Hinga kini, masyarakat Dusun Donglo Masaran masih menjaga ritual dan adat yang diajarkan oleh sang wali. Salah satu caranya adalah acara ritual bancaan atau kenduri sapi sorak hiyo setelah menanam padi. Adat itu memiliki arti sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada sapi yang telah membantu petani membajak sawah. Pada ritual itu, disajikan aneka makanan tradisional, seperti kulupan, gembili, uwi, waluh, ketan dan nasi. Setahun sekali sumur dikuras untuk membuang lumpur-lumpurnya dan dedaunan yang mengotori air sumur. Acara nyadran juga diadakan pada Jumat Pahing di ruymah Mbah Lo. Dari 38 KK yang ada, ada 70% warga yang melestarikan budaya luhur warisan nenek moyang itu.

    (oleh : Sukardi)

  • Deskripsi

    Komentar *
    Nama *